“Tuhan mau aku mengenal orang yang salah sebelum aku temukan orang yang tepat untukku.”
“Jadi, kita sampai disini?” Tanyaku lagi, untuk memastikan.
“Ya, aku sudah memilih, dan orang itu bukan kamu.” Jawabnya singkat, dadaku sesak.
“Kenapa?” Aku masih bertanya, dengan tangis yang ditahan ditenggorokan, perih.
“Karena aku lebih dulu mengenalnya dan kamu tidak lebih baik dari dia.” Jawabnya seadanya, sedapatnya.
“Tapi, aku sayang sama kamu, maksudku apa kamu memikirkan perasaan aku?” Ucapku tertunduk, nafasku sesak.
“Untuk apa memikirkan perasaan seseorang yang baru berkenalan denganku? Ah, kamu ini terlalu idiot buat bicara tentang cinta. Kita cuma saling tertarik dan terbawa situasi. Itu aja kok! Kamu yang membuat semuanya bermasalah!” Bentaknya kasar, aku terdiam.
“Aku selalu gagal untuk mengerti kamu dan aku selalu sulit untuk mengetahui jalan pikirmu, tapi apa kamu pernah sadar bahwa aku masih berusaha untuk sepadan denganmu?”
Dengan tatapan gusar, dia berjalan ke arahku, tiba-tiba saja lengannya sudah berada dipundakku, pelukan yang sama dari lengan yang sama, lengannya, “Jangan kamu kira aku tidak terluka, sebenarnya aku mencintaimu dengan susah payah, nyatanya aku juga terluka, tapi aku harus memilih, Dear. Jangan kira aku akan mudah melupakan kamu.”
Bahuku basah oleh air matanya, aku sama sepertinya, rapuh dan lemah, tapi kami bertahan untuk tetap terlihat tegar dan kuat, “Kau tahu? Aku juga tetap berjuang walau penuh luka, hanya untuk mencintaimu, kurelakan waktuku, kubiarkan hatiku menyimpan perihnya.”
Perlahan, dia lepaskan peluknya, lalu dia menyorot mataku dalam-dalam, “Aku tahu, Sayang. Walau kita belum lama berkenalan, kita banyak kesamaan, ada diriku dalam dirimu, ada dirimu dalam diriku. Sebenarnya, aku tak mau ada air mata, sungguh. Aku benci menangis, karena dari dulu orangtuaku mengajarkanku untuk tetap kuat.”
“Jadi, kamu tak akan kembali lagi?”
“Mungkin, kalau kita berjodoh pasti Tuhan mengizinkan kita bertemu lagi, kalau aku tak kembali, berarti kau harus temukan bahagiamu sendiri. Jatuh cintalah, pada orang lain, selain aku.”
“Perpisahan memang selalu butuh air mata. Kembalilah kalau kau temukan jalan buntu, berbaliklah. Aku masih menunggumu, di belakangmu.”
“Tolong, jangan tunggu aku, nanti aku tak punya rasa bebas untuk melangkah, aku takut langkahku tersendat.”
“Why do you do this to me? Why do you do this so easily?”
“Setidaknya kau tahu, aku mencintaimu. Jangan Pernah menungguku!”
“Mau berjanji satu hal? Kamu harus bahagia bersamanya.”
Senyum miris terpasang jelas dibibirnya, peluknya kembali meringankan bebanku, “Kenapa orang baik sepertimu harus mengenal orang jahat sepertiku? Tuhan kadang tak adil.”
“Tuhan mau aku mengenal orang yang salah sebelum aku temukan orang yang tepat untukku.” Ucapku melemah, tawa dan tangisku menyatu dengan hujan yang mulai mengulurkan benang-benang basahnya, ada irama sederhana saat kami berpeluk dibawah hujan kala itu. Perpisahan memang selalu jadi peran antagonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar