me

me
Welcome To My Life guys ...

Jumat, 16 Desember 2011

Kereta Api Terakhir Calon Pengantin


“Permisi mas, bangku ini kosong ya??” suara itu menghentikan kegiatanku yang tengah asyik ber SMS dengan Nana, kenalan baru ku di FB. Ku toleh seseorang yang tengah berdiri di sampingku dengan mendongakkan kepalaku, seorang gadis berwajah cantik berperawakan tinggi mengenakan gaun merah marun kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih. Untuk beberapa saat aku terpesona..
“ Boleh saya duduk mas….?” Kata gadis itu sekali lagi sambil tersenyum.Buru-buru aku geser dudukku untuk memberi tempat duduk pada gadis itu.
“ooh..silakan” kataku seramah mungkin. Dalam hati senang sekali membayangkan perjalanan dalam kereta malam ini di temani seorang gadis cantik bak model yang selama ini hanya bisa aku lihat di majalah-majalah. Ku lirik gadis di sebelahku, ku beranikan diri untuk membuka obrolan dengannya. Jiwa player seorang Galang mulai tertantang. Sejenak SMS dari Nana terabaikan. Pertama basa basi tanya tujuan dan kota asalnya hingga kami pun berkenalan. Gadis yang mengaku bernama laras itu sangat supel dan ramah dan ternyata kami juga sedang menuju ke kota yang sama. Pada suatu kesempatan, aku menanyakan tentang pacarnya, siapa tahu aku ada peluang untuk menjadi pacarnya,  harapku tentunya. Seketika wajahnya menjadi menegang dan sedetik kemudian berubah menjadi murung. Aku menjadi merasa bersalah, aku menyesal telah melontarkan pertanyaan yang membuat dia sedih. Buru-buru aku minta maaf padanya.
“Maafkan aku laras, aku tak bermaksud membuatmu sedih. Lupakan pertanyaanku tadi ya..” kataku dengan penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa Galang” dia menggelengkan kepalanya. Rambutnya yang tergerai hitam itu ikut bergerak-gerak mengikuti gelengan kepalanya. Aroma wangi rambutnya bisa tercium olehku. Kepala itu menunduk, ku dengar dia menggumam tak jelas. Bahunya turun naik, dan baru ku sadari bahwa laras tengah menangis. Aku merasa kian bersalah. Tak sadar aku pegang tangannya, dingin…mungkin karena AC kereta ini pikirku.
“ Laras…please maafkan aku” kataku sekali lagi. Perlahan kepala itu terangkat,. Matanya basah oleh air mata. Tapi sesaat aku bisa menangkap mata itu berkilat aneh.
“Namanya Panji. Kami berencana menikah tak lama lagi. Bisakah aku minta tolong padamu Lang?” wajah cantik itu menatapku sendu. Seperti di komando kepalaku mengangguk begitu saja.
“ Tolong berikan ini pada keluargaku. Besuk ini sudah harus sampai di rumah”Gadis itu mengeluarkan kotak berwarna coklat berukuran sedang dari dalam tas jinjingnya dan memberikannya padaku. Aku timang-timang sebentar mengira ngira isi dan berat kotak warna coklat tersebut.
“Kenapa tak kau berikan sendiri pada keluargamu Laras, bukankah kita sekarang dalam perjalanan ke kota yang sama?” tanyaku heran. Kepalanya menggeleng cepat..
“ Tidak bisa Lang, aku mesti turun di stasiun depan. Ada yang menahanku di sana jadi aku tidak bisa pulang malam ini..” Kemudian di keluarkannya lagi secarik kertas bertuliskankan alamat laras lalu di angsurkannya padaku. Aku baca sekilas dan dapat kupastikan alamat itu mudah untuk aku temukan.
Peluit panjang terdengar nyaring pertanda kereta sebentar lagi berhenti di stasiun. Laras sudah berdiri dan bersiap untuk turun. Begitu juga beberapa penumpang yang lain.
“ Makasih Galang” Laras tersenyum dan aku balas tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Dan perlahan sosok laras menjauh. Hingga hilang terhalang orang-orang yang berebut turun. Ku edarkan pandanganku di luar jendela berharap ku jumpai sosok Laras di luar sana. Namun sampai peluit panjang terdengar lagi sosok Laras tak ku temui . Dan aku mendadak teringat bahwa aku lupa menanyakan nomor telepon Laras. Sial , gerutuku dalam hati. Tapi bukankah aku punya alamat Laras? Besuk aku akan mencoba menanyakan nomor telepon Laras pada keluarganya. Dan senyumku mengembang lagi.
********
Saat ini aku telah berada di dalam taxi. Ku berikan alamat yang di berikan laras tadi malam pada sopir taxi yang wajahnya sekilas mirip komedian Parto OVJ. Dan taxipun membawaku pada alamat yang tertera pada kertas itu.
Taxi berhenti pada sebuah rumah bergaya minimalis bercat abu-abu. Tidak begitu besar tapi asri, menandakan yang punya rumah mempunyai selera yang tinggi. Aku lihat sekali lagi alamat di secarik kertas itu. Setelah kupastikan bahwa rumah yang di depanku itu adalah alamat yg aku cari, aku berjalan melewati pagar besi rendah yang tak terkunci. Lengang dan sepi, aku pencet tombol bel di samping pintu. Dan tak beberapa lama, seorang wanita setengah baya membukakan pintu untukku. Aku menebak dia ibu Laras, wajahnya mirip dengan Laras. Sisa-sisa kecantikannya waktu muda masih Nampak begitu jelas.
“Maaf bu, benar ini rumahnya Laras?” tanyaku pada wanita itu.
“Be..benar dik. Saya ibunya. Silakan masuk” wanita itu agak kaget saat aku menyebut nama laras. Dan setelah aku berbasa-basi, aku menceritakan semua pertemuanku di kereta dengan Laras tadi malam. Ibu Laras hanya diam, namun sebentar kemudian beliau terisak.
“ Maaf dik, apa benar Laras yang bertemu denganmu itu wajahnya sama seperti yang di photo itu?” tanya Ibu laras sambil menunjuk photo gadis cantik di dalam pigora yang terpajang di dinding.
“Iya …benar bu. Saya bertemu dengan dia semalam” ucapku yakin bahwa poto itu benar-benar Laras yang bersamaku tadi malam. Ibu itu semakin terisak, aku semakin tak mengerti.
“ Dik, Laras telah meninggal seminggu yang lalu. Dia telah menjadi korban perampokan dan pemerkosaan. Setelah mengalami musibah itu, jiwanya tergoncang. Selama dalam perawatan, tanpa sepengetahuan kami dia meninggalkan rumah. Kami berusaha mencarinya, 2 hari kemudian…Laras baru di ketemukan. Namun kami hanya menemukan jasadnya saja yang sebagian sudah remuk…Laras telah menabrakkan dirinya di kereta.” Dan tangis ibu Laras pecah seketika. Aku hanya diam mematung, mulutku terkunci..ada rasa ngeri yang tiba-tiba menyerangku. Bulu kudukku meremang. Laras yang ngobrol denganku semalam adalah …..kepalaku mendadak pening.
“Laras menitipkan ini  untuk memberikan pada Ibu” ku berikan kotak coklat pemberian Laras semalam. Ibu Laras menerimanya dengan tangan bergetar. Di buka perlahan, dan di dalamnya ternyata berisi baju kebaya warna putih. Ibu Laras mengelus kebaya itu beberapa kali dan menangis.
“Hari ini rencananya Laras mau menikah dik. Saat dia pergi rupanya dia membawa kebaya yang mau di pakai untuk menikah. Dia sudah siapkan jauh-jauh hari. Dia yang merancang sendiri kebaya ini. Harusnya hari ini adalah hari bahagia Laras, tapi …..” Ibu Laras tak meneruskan kata-katanya, hanya tangisnya yang terdengar semakin keras.
Aku hanya terduduk membisu. Badanku terasa lemas. Pikiranku melayang pada pertemuanku dengan Laras tadi malam. Semua masih terekam dengan jelas. Laras yang cantik ternyata hidupnya begitu tragis. Kepalaku semakin berat. Dan aku tak ingat lagi pada sopir taxi yang masih menungguku di luar dan argonya belum aku bayar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar